Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seseorang secara
tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan
untuk meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri hidupnya.
Ada empat metode euthanasia:
•Euthanasia sukarela: ini dilakukan oleh individu yang secara sadar menginginkan kematian.
•Euthanasia non sukarela: ini terjadi ketika individu tidak mampu untuk menyetujui karena faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental. Sebagai contoh dari kasus euthanasia non sukarela ini adalah menghentikan bantuan makanan dan minuman untuk pasien yang berada di dalam keadaan vegetatif (koma).
•Euthanasia tidak sukarela: ini terjadi ketika pasien yang sedang sekarat dapat ditanyakan persetujuan, namun hal ini tidak dilakukan. Kasus serupa dapat terjadi ketika permintaan untuk melanjutkan perawatan ditolak.
•Bantuan bunuh diri: ini sering diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk euthanasia. Hal ini terjadi ketika seorang individu diberikan informasi dan wacana untuk membunuh dirinya sendiri.
Euthanasia dapat menjadi aktif atau pasif:
•Euthanasia aktif menjabarkan kasus ketika suatu tindakan dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan kematian. Contoh dari kasus euthanasia aktif ini adalah memberikan suntik mati.
•Euthanasia pasif menjabarkan kasus ketika kematian diakibatkan oleh penghentian tindakan medis. Contoh dari kasus euthanasia pasif ini adalah penghentian pemberian nutrisi.
Berdasarkan cara terjadinya, kematian dibagi dalam tiga jenis yaitu:
1.Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena proses alamiah.
2.Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara tidak wajar.
3.Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan dan tidak dengan pertolongan dokter.
Permohonan Euthanasia merupakan refleksi kegagalan dalam menyediakan jaminan kesehatan. Saat ini di Indonesia sudah ada kasus tentang Euthanasia. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada peraturan yang jelas tentang kasus tersebut. Padahal kasus ini sama dengan tindak pidana yang menghilangkan nyawa seseorang. Beberapa orang setuju dengan adanya Euthanasia karena dipikir dapat mengurangi rasa sakit pasien. Ada juga pihak yang tidak setuju karena termasuk tindak pidana yang menghilangkan nyawa seseorang, selain itu dianggap melampaui batas manusia untuk mencabut nyawa manusia padahal hanya Allah yang ber hak untuk mencabut nyawa seseorang.
Euthanasia
Dalam Pandangan Islam
Euthanasia
secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos,
yang berarti “kematian” (Utomo, 2003: 177). Dalam bahasa Arab, Euthanasia
dikenal dengan istilah qatl ar-rahma atau taysîr al-mawt. Menurut
istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan untuk meringankan kesakitan
atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal; juga berarti
mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat
menjelang kematiannya. (Hasan, 1995: 145).
Dalam
praktik kedokteran dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan
euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter
mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien
tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat
parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis
sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya
dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan
memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang
sudah parah. (Utomo, 2003: 176).
Contoh euthanasia aktif, misalnya,
ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga
pasien sering pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan
meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi
(overdosis) yang dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan
pernapasannya sekaligus. (Utomo, 2003: 178).
Sebaliknya,
euthanasia pasif adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang
menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat
disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien.
Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang
terbatas, dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, dan fungsi
pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat
tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter
menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih
mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan
pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang
sangat tinggi. (Utomo, 2003: 176).
Contoh euthanasia pasif, misalnya,
penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma,
disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh, atau orang
yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka penderita
bisa meninggal. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan,
akan dapat mempercepat kematiannya. (Utomo, 2003: 177).
Syariat
Islam jelas mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori
melakukan pembunuhan dengan sengaja (al-qatl al-‘amâd), walaupun niatnya
baik, yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram walaupun
atas permintaan pasien sendiri atau keluargany
Dalil-dalil
dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan
pembunuhan, baik pembunuhan terhadap jiwa orang lain maupun diri sendiri,
misalnya firman Allah Swt.:] [
Janganlah
kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan
sesuatu (sebab) yang benar. (QS al-An‘am [6]: 151).
Dari dalil
di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif,
karena sengaja melakukan pembunuhan terhadap pasien, sekalipun atas permintaan
keluarga atau si pasien. Demikian halnya bagi si pasien, tindakan tersebut bisa
dikategorikan tindakan putus asa dan membunuh diri sendiri yang diharamkan.
Karena itu, apapun alasannya
(termasuk faktor kasihan kepada penderita), tindakan euthanasia aktif tersebut
jelas tidak dapat diterima. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris),
padahal di balik itu ada aspek-aspek lain yang tidak diketahui dan terjangkau
oleh manusia, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah saw. bersabda:
Tidaklah
suatu musibah menimpa seseorang Muslim, kecuali Allah menghapuskan dengan
musibah itu dosanya, hatta sekadar duri yang menusuknya. (HR
al-Bukhari dan Muslim).
Hadis di atas menunjukkan bolehnya
tidak berobat. Jika hadis ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang
memerintahkan berobat maka hadis terakhir ini menjadi indikasi (qarînah),
bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib.
Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandûb), bukan wajib
(Zallum, 1998: 69), termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi
pasien.
Imam
Muslim dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dia berkata bahwa
Rasulullah SAW telah bersabda : “Sungguh jika seorang dari kalian duduk di atas
bara api yang membakarnya, niscaya itu lebih baik baginya daripada dia duduk di
atas kuburan !”
Hadits-hadits
di atas secara jelas menunjukkan bahwa mayat mempunyai kehormatan sebagaimana
orang hidup. Begitu pula melanggar kehormatan dan menganiaya mayat adalah sama
dengan melanggar kehormatan dan menganiaya orang hidup. Dan sebagaimana tidak
boleh menganiaya orang hidup dengan membedah perutnya, atau memenggal
lehernya, atau mencongkel matanya, atau memecahkan tulangnya, maka begitu pula
segala penganiayaan tersebut tidak boleh dilakukan terhadap mayat. Sebagaimana
haram menyakiti orang hidup dengan mencaci maki, memukul, atau melukainya, maka
demikian pula segala perbuatan ini haram dilakukan terhadap mayat. Hanya saja
penganiayaan terhadap mayat dengan memecahkan tulangnya, memenggal lehernya,
atau melukainya, tidak ada denda (dlamaan) padanya sebagaimana denda pada penganiayaan
orang hidup. Sebab Rasulullah SAW tidak menetapkan adanya denda sedikit pun
terhadap seseorang yang telah memecahkan tulang mayat di hadapan beliau, ketika
orang itu sedang menggali kubur. Rasulullah SAW hanya memerintahkan orang itu
untuk memasukkan potongan-potongan tulang yang ada ke dalam tanah.
Dengan
penjelasan fakta hukum mengenai pelanggaran kehormatan mayat dan penganiayaan
terhadapnya ini, maka jelaslah bahwa tidak dibolehkan membedah perut mayat dan
mengambil sebuah organnya untuk ditransplantasikan kepada orang lain. Ini
karena tindakan tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap kehormatan mayat
serta merupakan penganiayaan dan pencincangan terhadapnya. Padahal melanggar
kehormatan mayat dan mencincangnya telah diharamkan secara pasti oleh syara’.
Dalam
prakteknya, para dokter tidak mudah melakukan euthanasia ini, meskipun dari
sudut kemanusiaan dibenarkan adanya euthanasia dan merupakan hak bagi pasien
yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan (sesuai dengan Deklarasi
Lisboa 1981). Akan tetapi dokter tidak dibenarkan serta merta melakukan upaya
aktif untuk memenuhi keinginan pasien atau keluarganya tersebut. Hal ini
disebabkan oleh dua hal, pertama, karena adanya persoalan yang berkaitan dengan
kode etik kedokteran, disatu pihak dokter dituntut untuk membantu meringankan
penderitaan pasien, akan tetapi dipihak lain menghilangkan nyawa orang
merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu sendiri. Kedua, tindakan
menghilangkan nyawa orang lain dalam perundng-undangan merupakan tindak pidana
, yang secara hukum di negara manapun, tidak dibenarkan oleh Undang-undang.
Secara umum ajaran Islam diarahkan
untuk menciptakan kemaslahatan hidup dan kehidupan manusia, sehingga aturannya
diberikan secara lengkap, baik yang berkaitan dengan masalah keperdataan maupun
pidana. Khusus yang berkaitan dengan keselamatan dan perihal hidup manusia,
dalam hukum pidana Islam (jinayat) ditetapkan aturan yang ketat, seperti adanya
hukuman qishash, hadd, dan diat.
Dalam Islam prinsipnya segala upaya
atau perbuatan yang berakibat matinya seseorang, baik disengaja atau tidak
sengaja, tidak dapat dibenarkan, kecuali dengan tiga alasan; sebagaimana
disebutkan dalam hadits: “Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali karena
salah satu dari tiga alasan, yaitu: pezina mukhshan (sudah berkeluarga), maka
ia harus dirajam (sampai mati); seseorang yang membunuh seorang muslim lainnya
dengan sengaja, maka ia harus dibunuh juga. Dan seorang yang keluar dari Islam
(murtad), kemudian memerangi Allah dan Rasulnya, maka ia harus dibunuh, disalib
dan diasingkan dari tempat kediamannya” (HR Abu Dawud dan An-Nasa’i)
Selain
alasan-alasan diatas, segala perbuatan yang berakibat kematian orang lain
dimasukkan dalam kategori perbuatan ‘jarimah/tindak pidana’ (jinayat), yang
mendapat sanksi hukum. Dengan demikian euthanasia karena termasuk salah satu
dari jarimah dilarang oleh agama dan merupakan tindakan yang diancam dengan
hukuman pidana. Dalil syari’ah yang menyatakan pelarangan terhadap pembunuhan
antara lain Al-Qur’an surat Al-Isra’:33, An-Nisa’:92, Al-An’am:151. Sedangkan
dari hadits Nabi saw, selain hadits diatas, juga hadits tentang keharaman
membunuh orang kafir yang sudah minta suaka (mu’ahad).(HR.Bukhari).
Pada prinispnya pembunuhan secara
sengaja terhadap orang yang sedang sakit berarti mendahului takdir. Allah telah
menentukan batas akhir usia manusia. Dengan mempercepat kematiannya, pasien
tidak mendapatkan manfaat dari ujian yang diberikan Allah Swt kepadanya, yakni
berupa ketawakalan kepada-Nya Raulullah saw bersabda: “Tidaklah menimpa
kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan,
kesusahan maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah
menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang dicobakannya itu.”
(HR Bukhari dan Muslim).
Hal itu karena yang berhak mematikan
dan menghidupkan manusia hanyalah Allah dan oleh karenanya manusia dalam hal
ini tidak mempunyai hak atau kewenangan untuk memberi hidup dan atau
mematikannya. (QS.Yunus:56, Al-Mulk:1-2).
Berkaitan
dengan permasalahan tersebut muncul persoalan fikih yaitu apakah memudahkan
proses kematian secara aktif ditolerir oleh Islam? Apakah memudahkan proses
kematian secara pasif juga diperbolehkan?
Dengan demikian melalui euthanasia
aktif berarti manusia mengambil hak Allah Swt yang sudah menjadi ketetapanNya.
Memudahkan proses kematian secara aktif seperti pada contoh pertama tidak
diperkenankan oleh syari’ah. Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan
tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya
melalui pemberian obat secara overdosis atau cara lainnya. Dalam hal ini dokter
telah melakukan pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar.
Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan meskipun
yanng mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan
penderitaannya. Karena bagaimanapun dokter tidaklah lebih pengasih dan
penyayang dari pada Allah Al-Khaliq. Karena itu serahkanlah urusan tersebut
kepada Allah, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang
mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah di tetapkan-Nya. Eutanasia
demikian juga menandakan bahwa manusia terlalu cepat menyerah pada keadaan
(fatalis), padahal Allah swt menyuruh manusia untuk selalu berusaha atau berikhtiar
sampai akhir hayatnya. Bagi manusia tidak ada alasan untuk berputus asa atas
suatu penyakit selama masih ada harapan, sebab kepadanya masih ada kewajiban
untuk berikhtiar. Dalam hadits Nabi sw disebutkan betapapun beratnya penyakit
itu, tetap ada obat penyembuhnya.(HR Ahmad dan Muslim). Adapun memudahkan
proses kematian dengan cara euthanasia pasif sebagaimana dikemukakan dalam
pertanyaan, maka semua itutermasuk dalam kategori praktik penghentian
pengobatan. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang
dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit,
sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum
sebab-akibat. Masalah ini terkait dengan hukum melakukan pengobatan yang
diperselisihkan oleh para ulama fikih apakh wajib atau sekedar sunnah.
Menurut
jumhur ulama mengobati atau berobat dari penyakit hukumnya sunnah dan tidak
wajib. Meskipun segolongan kecil ulama ada yang mewajibkannya, seperti kalangan
ulama syafi’iyah dan hanbali sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu
Taimiyah.
Para ulama bahkan berbeda pendapat
mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah bersabar? Di antara mereka ada
yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan
hadist Abbas yang diriwayatkan dalam kitab shahih dari seorang wanita yang
menderita epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi agar mendoakannya, lalu
beliau menjawab: “Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan
mendapatkan surga, dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia
menyembuhkanmu.” Wanita itu menjawab akan bersabar dan memohon kepada Nabi
untuk medoakan kepada Allah agar ia tidak minta dihilangkan penyakitnya namun
tetap terjaga auratnya sehingga tidak tersingkap ketika kambuh. Disamping itu,
terdapat banyak contoh dari kalangan sahabat dan tabi’in yang tidak berobat
ketika mereka sakit, bahkan di antara mereka ada yang memilih sakit, seperti
Ubay bin Ka’ab dan Abu Dzar Al-Ghifari. Sikap demikian tidak ditegur ataupun
diprotes oleh kalangan sahabat ataupun generasi tabai’in lainnya sebagaimana
dikupas oleh Imam Al-Ghazali dalam satu bab tersendiri yang berjudul “Kitab
at-Tawakal” dalam kitab Ihya ‘Ulumuddinnya. Dalam hal ini hukum berobat atau
mengobati penyakit yang lebih tepat adalah pada dasarnya wajib terutama jika
sakitnya parah, obatnya efektif berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh
sesuai dengan perintah Allah Swt untuk berobat. Inilah yang sesuai dengan
petunjuk Nabi saw dalam masalah pengobatan sebagaimana yang di kemukakan oleh
Imam Ibnul Qoyyim dalam kitabnya Zadul-Ma’ad. Dan paling tidak, petunjuk Nabi
saw, tersebut minimal menunjukkan hukum sunnah.
Oleh
karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya sunnah ataupun wajib apabila
penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika secara perhitungan
akurat medis yang dapat dipertanggungjhawabkan sudah tidak ada harapan sembuh,
sesuai dengan sunnatullah dalam hukum kausalitas yang dikuasai para ahli
seperti dokter ahli maka tidak ada seorang pun yang mengatakan sunnah berobat
apalagi wajib.
Apabila
penderita sakit kelangsungan hidupnya tergantung pada pemberian berbagai macam
media pengobatan dengan cara meminum obat, suntikan, infus dan sebagainya, atau
menggunakan alat pernapasan buatan dan peralatan medis modern lainnya dalam
waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka
melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak juga sunnah sebagaimana
difatwakan oleh Syeikh Yusuf Al-Qardhawi dalam Fatawa Mu’ashirahnya, bahkan
mungkin kebalikannya yakni tidak mengobatinya itulah yang wajib atau sunnah.
Dengan
demikian memudahkan proses kematian (taisir al-maut) semacam ini dalam kondisi
sudah tidak ada harapan yang sering diistilahkan dengan qatl ar-rahma
(membiarkan perjalanan menuju kematian karena belas kasihan), karena dalam
kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter maupun orang lain. Tetapi
dokter ataupun orang terkait lainnya dengan pasien hanya bersikap meninggalkan
sesuatu yang hukumnya tidak wajib ataupun tidak sunnah, sehingga tidak dapat
dikenai sanksi hukuman menurut syari’ah maupun hukum positif. Tindakan
euthanasia pasif oleh dokter dalam kondisi seperti ini adalah jaiz (boleh) dan
dibenarkan syari’ah apabila keluarga pasien mengizinkannya demi meringankan
penderitaan dan beban pasien dan keluarganya.
Hal ini
terkait dengan contoh kedua dari eutanasia aktif terdahulu yaitu menghentikan
alat pernapasan buatan dari pasien, yang menurut pandangan dokter ahli ia sudah
“mati” atau “dikategorikan telah mati” karena jaringan otak ataupun fungsi
syaraf sebagai media hidup dan merasakan telah rusak. Kalau yang dilakukan
dokter tersebut semata-mata menghentikan alat pengobatan, hal ini sama dengan
tidak memberikan pengobatan. Dengan demikian masalahnya sama seperti cara-cara
eutanasia pasif lainnya. Karena itu, eutanasia untuk seperti ini adalah bukan
termasuk kategori eutanasia aktif yang diharamkan. Dengan demikian, tindakan
tersebut dibenarkan syari’ah dan tidak terlarang terutama bila peralatan bantu
medis tersebut hanya dipergunakan pasien sekadar untuk kehidupan lahiriah yang
tampak dalam pernapasan dan denyut nadi saja, padahal bila dilihat secara medis
dari segi aktivitas maka pasien tersebut sudah seperti orang mati, tidak
responsif, tidak dapat mengerti sesuatu dan tidak merasakan apa-apa, karena
jaringan otak dan sarafnya sebagai sumber semua aktivitas hidup itu telah
rusak.
Membiarkan
si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan biaya dan tenaga
yang banyak serta memperpanjang tanggungan beban. Selain itu juga dapat
menghalangi pemanfaatan peralatan tersebut oleh pasien lain yang
membutuhkannya. Di sisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan
apa-apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan
menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya.
Dua Macam Euthanasia
Kalau kita lihat dalam prakteknya,
kita bisa membagi euthanasia menjadi dua macam. Pertama, euthanasia positif.
Kedua, euthanasia negatif.
1. Euthanasia Positif
Eutanasia positif adalah tindakan
memudahkan kematian si sakit -karena kasih sayang- yang dilakukan oleh dokter
dengan mempergunakan instrumen (alat) atau obat.
Contohnya, seorang yang menderita
kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga penderita sering pingsan.
Dalam hal ini dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan meninggal dunia.
Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang
sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya
sekaligus.
2. Eutanasia Negatif
Sedangkan euthanasia negatif adalah
tindakan membiarkan saja pasien yang sudah parah sakitnya tanpa tindakan
pengobatan.
Contohnya orang yang mengalami
keadaan koma yang sangat lama. Dalam keadaan demikian ia hanya mungkin dapat
hidup dengan mempergunakan alat bantu pernapasan di ruang ICU atau ICCU.
Alat pernapasan itulah yang memompa
udara ke dalam paru-parunya dan menjadikannya dapat bernapas secara otomatis.
Jika alat pernapasan tersebut dihentikan, si penderita tidak mungkin dapat
melanjutkan pernapasannya.
Ada yang menganggap bahwa orang
sakit seperti ini sebagai `orang mati` yang tidak mampu melakukan aktivitas.
Maka memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk
memudahkan proses kematiannya.
Dalam contoh tersebut, `penghentian
pengobatan` merupakan salah satu bentuk eutanasia negatif.
Hukum Euthanasia Positif
Memudahkan proses kematian secara
aktif (eutanasia positif) jelas-jelas tidak diperkenankan oleh syariat Islam.
Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan
membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara
overdosis.
Maka dalam hal ini, dokter telah
melakukan pembunuhan, baik dengan cara pemberian obat overdossis yang pada
hakikatnya merupakan racun yang keras, ataupun dengan menggunakan senjata tajam.
Semua itu termasuk pembunuhan yang
haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan.
Perbuatan demikian itu tidak dapat
lepas dari kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan
kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si
dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Dzat Yang Menciptakannya.
Karena itu serahkanlah urusan
tersebut kepada Allah SAW, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia
dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.
Hukum Euthanasia Negatif
Adapun memudahkan proses kematian
dengan cara pasif, maka semua berkisar pada `menghentikan pengobatan` atau
tidak memberikan pengobatan.
Hal ini didasarkan pada keyakinan
dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak
memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah dan hukum
sebab-akibat.
Dasar Kebolehan
Di antara yang mendasari kebolehan
melakukan euthanasi negatif, yaitu tindakan mendiamkan saja si pasien dan tidak
mengobati, adalah salah satu pendapat di kalangan sebagainulama. Yaitubahwa
hukum mengobati atau berobat dari penyakit tidak sepenuhnyawajib. Bahkan
pendapat ini cukup banyak dipegangolehimam-imam mazhab.
Menurut sebagian mereka, hukum
mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah.
Tetapi bukan berarti semua ulama
sepakat mengatakan bahwa hukum berobat itu mubah. Dalam hal ini sebagian dari
para ulama itu tetapmewajibkannya. Misalnyaapa yang dikatakan oleh
sahabat-sahabat Imam Syafi`i dan Imam Ahmad bion Hanbal, jugasebagaimana yang
dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah. Mereka itu tetap beranggapan
bahwa berobat dan mengupayakan kesembuhan merupakan tindakan yang mustahab (sunnah).
Perbedaan Pendapat
Para ulama bahkan berbeda pendapat
mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah bersabar? Bersabar di sini
berarti tidak berobat.
Di antara mereka ada yang
berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadits
Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa
penyakit epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi saw. agar mendoakannya, lalu
beliau menjawab:
Jika engkau mau bersabar (maka
bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga; dan jika engkau mau, akan saya
doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.` Wanita itu menjawab, aku akan
bersabar. `Sebenarnya saya tadi ingin dihilangkan penyakit saya. Oleh karena
itu doakanlah kepada Allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit saya.`
Lalu Nabi mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan penyakitnya.
Di samping itu, juga disebabkan
banyak dari kalangan sahabat dan tabi`in yang tidak berobat ketika mereka
sakit, bahkan di antara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubai bin Ka`ab
dan Abu Dzar radhiyallahu`anhuma.
Dan tidak ada yang mengingkari
mereka yang tidak mau berobat itu.
Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid
al-Ghazali telah menyusun satu bab tersendiri dalam `Kitab at-Tawakkul` dari
Ihya` Ulumuddin, untuk menyanggah orang yang berpendapat bahwa tidak berobat
itu lebih utama dalam keadaan apa pun.
Demikian pendapat para fuqaha
mengenai masalah berobat atau pengobatan bagi orang sakit. Sebagian besar di
antara mereka berpendapat mubah, sebagian kecil menganggapnya mustahab
(sunnah), dan sebagian kecil lagi --lebih sedikit dari golongan kedua--
berpendapat wajib.
Dalam hal ini kami sependapat dengan
golongan yang mewajibkannya apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan
ada harapan untuk sembuh sesuai dengan sunnah Allah Ta`ala.
Inilah yang sesuai dengan petunjuk
Nabi saw. yang biasa berobat dan menyuruh sahabat-sahabatnya berobat,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ibnul Qayyim di dalam kitabnya
Zadul-Ma`ad. Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw. itu menunjukkan hukum sunnah
atau mustahab.
Oleh karena itu, pengobatan atau
berobat hukumnya mustahab atau wajib, apabila penderita dapat diharapkan
kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan
sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang diketahui dan dimengerti oleh para
ahlinya --yaitu para dokter-- maka tidak ada seorang pun yang mengatakan
mustahab berobat, apalagi wajib.
Apabila penderita sakit diberi
berbagai macam cara pengobatan --dengan cara meminum obat, suntikan, diberi
makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan
lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern-- dalam waktu yang cukup
lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan
pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin ke balikannya
(yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab.
Maka memudahkan proses kematian
--kalau boleh diistilahkan demikian-- di mana dokter hanya meninggalkan sesuatu
yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi, maka tindakan
pasif ini adalah bolehdan dibenarkan syariat. Terutama bila keluarga penderita
mengizinkannya dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit
dan keluarganya, insya Allah.
Semua itu dengan pertimbagan bahwa
membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan dana yang
banyak bahkan tidak terbatas. Selain itu juga menghalangi penggunaan alat-alat
tersebut bagi orang lain yang membutuhkannya dan masih dapat memperoleh manfaat
dari alat tersebut.
Di sisi lain, penderita yang sudah
tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu
dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya.
Beberapa aspek euthanasia.
A. Aspek Hukum. Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP Pidana.
B. Aspek Hak Asasi. Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.
C. Aspek Ilmu Pengetahuan. Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.
D. Aspek Agama. Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya.
1. Dalam
ajaran gereja Katolik Roma
Paus
Yohanes Paulus II juga menegaskan
bahwa
eutanasia merupakan tindakan belas kasihan
yang keliru, belas kasihan yang semu: “Belas
kasihan yang sejati mendorong untuk ikut
menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan
itu tidak membunuh orang, yang
penderitaannya
tidak dapat kita tanggung”
(Evangelium
Vitae, nomor 66).
2. Dalam
ajaran agama Hindu
Didasarkan
pada ajaran tentang
karma, moksadan ahimsa.
Bunuh diri
adalah suatu perbuatan yang
terlarang
didalam ajaran Hindu.
3. Dalam
ajaran agama Buddha
Mempercepat
kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran
terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat menjadi “karma” negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.
Euthanansia
4. Dalam
ajaran Agama Islam
Eutanasia
dalamtajaran
Islam disebut qatl ar-
rahmahatau aisir al-maut (eutanasia), yaitu
suatu
tindakan
memudahkan kematian seseorang
dengan
sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih
sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan
si sakit, baik dengan cara positif maupun
negatif.
-Euthanansia positif/aktif
diharamkan dalam Islam
-Euthanansia
negatif/pasif hukumnya boleh atau
jaiz.
5.Dalam ajaran gereja Ortodoks, Protestan,
dan Yahudi juga menentang anjuran euthanasia
Pandangan Agama Terhadap
Transfusi darah
Dalam islam pendapat
yang paling kuat adalah bahwa
jual beli darah manusia itu tidak
etis disamping bukan termasuk barang yang dibolehkan untuk diperjual belikan
karena termasuk bagian manusia yang Allah muliakan dan tidak pantas untuk
diperjual belikan karena bertentangan dengan tujuan dan misi semula yang luhur.
Pandangan Agama Terhadap
Transplantasi organ
Hukum transplantasi organ adalah sebagai berikut:
1.Transplantasi Organ Dari
Donor Yang
Masih Hidup:
Syara’ membolehkan seseorang pada
saat hidupnya dengan sukarela tanpa ada paksaan siapa pun untuk menyumbangkan
sebuah organ tubuhnya atau lebih kepada orang lain yang membutuhkan organ yang
disumbangkan itu, seperti tangan atau ginjal.
Transplantasi
Organ
2. Hukum
Transplantasi Dari Donor Yang
Telah
Meninggal :
Tidak dibolehkan membedah perut
mayat dan mengambil sebuah organnya untuk
ditransplantasikan kepada orang lain. Ini karena tindakan
tersebut dianggap sebagai pelanggaran
terhadap kehormatan mayat serta merupakan penganiayaan
dan pencincangan terhadapnya.
Padahal melanggar kehormatan mayat dan mencincangnya
telah diharamkan secara pasti
oleh syara’. Kecuali dengan izin keluarga mayat dan yang
bersangkutan sebelum meninggal
Komentar
Posting Komentar
Bagaimana menurut anda setelah membaca postingan ini?