Mahasiswa pada umumnya (seharusnya) bisa mengembangkan diri sendiri melalui berbagai bimbingan. Tidak mesti harus dari dosen, karena ada kala mahasiswa ternyata (mengaku) lebih mengetahui (lebih pintar) dari pada dosen yang sebenarnya disiplin ilmu beliau sendiri.
Namun tak menutup kemungkinan bahwa kualifikasi dosen itu sendiri terkadang ada yang tidak sejalan dengan perkembangan global sekarang.
Memang ada beberapa diantara para dewan pengajar yang tidak masuk kualifikasi (menurut mahasiswa itu sendiri), tapi dalam dunia nyata pun terkadang begitu.
Contohnya, memang ada dosen yang membuat soal kompetensi mengenai suatu materi, namun yang ditanyakan bukan inti dari permasalahan itu, namun suatu kelanjutan dari kalimat / paragraf yang telah diberikan.
Dengan cara demikian, dosen tersebut mendidik mahasiswa untuk satu hal, segala pertanyaan sudah ada jawabannya, dan jawaban itu mesti sama dengan apa yang beliau sampaikan.
Tidak ada ruang dalam mengembangkan jawaban! Materi ujian misalnya, yang mesti kita baca dan pelajari adalah benar-benar materi dari dosen bersangkutan yang diberikan. Penilaian pun sesuai dengan apa yang beliau sampaikan. Sebenarnya jawaban lain pun banyak, seperti di internet, berbagai macam bentuk definisi yang berbeda-beda. Tidak ada ruang penilaian untuk menyatakan itu. Penilaian pun, jika tidak sama dengan apa yang tertera di kunci jawaban (materi sebelumnya) dianggap salah, karena jawabannya itu sendiri berbentuk pilihan ganda (multiple choice).
Mahasiswa mempunyai ruang untuk berdemokrasi, membela diri, menuntut hak setelah kewajiban, namun terkadang pihak akademis berlindung pada Peraturan Baku dalam suatu institusi yang menghendaki bentuk tersebut. Cara ini sama sekali tidak mengembangkan mahasiswa. Walaupun banyak kesempatan, mahasiswa sendiri jarang ada yang mau memprotes dengan serius, dengan alasan takut nilainya turun, dan lain-lain.
Takut menjadi kelinci percobaan, Hahaha ... Alasan yang sangat menggellikan.
Bagi saya pribadi, perubahan itu perlu, walaupun memerlukan pengorbanan, rasa ketidakadilan, dan lain-lain. Jika nanti hasilnya lebih baik mengapa tidak?
Sayangnya kemajuan teknologi membuat bangsa ini semakin plagiat, tidak sejalan dengan perkembangan generasi, mental dan psikologi umat indonesia. Apapun itu, genetik mereka harus diubah.
Dalam mimpi saya, saya teringat sebuah bacaan mengenai Soegeng, kepala Polri pertama di Indonesia. Dengan konsekuennya beliau menumpas perjudian yang ada di Medan. Ketika beliau mendapatkan tugas di sana, beliau ditawari berbagai macam pernak pernik perabotan dan berbagai alat mewah yang seharusnya belum ada di zaman tersebut, zaman kemerdekaan atau lainnya.
Namun beliau tetap tinggal di sebuah hotel serta merta menolak segala pemberian dari bandar-bandar tersebut. Setelah rumah dinas beliau sudah jadi, ternyata didalamnya juga telah diisi dengan barang yang sama dari pihak yang sama pula. Dengan tegas beliau mengeluarkan barang tersebut dan meletakkan barang itu ke depan rumahnya, dan dibiarkan begitu saja.
Selain itu, aparat di sana pada waktu itu banyak melakukan korupsi, menerima suap, bahkan menjadi bekingan atau pelindung berbagai tempat judi. Maka secara tegas pula, bapak Soegeng membasmi mereka, dengan rintangan yang bermacam-macam.
Setelah kembali dari tempatnya, beliau memasuki masa pensiun. Beliau sama sekali tidak mengkhawatirkan keadaannya, meski dengan harta yang sangat sedikit. Anak buahnya yang setia beramai-ramai membelikan beliau sebuah mobil, karena bapak Soegeng sama sekali tidak pernah menaiki mobil, kecuali Mobil dinas dan mobil umum saja.
Rencana itu diketahui bapak Soegeng, dan beliau marah besar, namun akhirnya beliau dapat menerima. Walau begitu, bisa dihitung dengan jari berapa kali beliau menggunakan kendaraan tersebut.
Bukan hanya bapak Soegeng saja, di luar sana masih banyak "Soegeng-Soegeng" lainnya sesuai dengan kehidupannya masing-masing, Penuh Integritas, Disiplin dan Profesional
Namun tak menutup kemungkinan bahwa kualifikasi dosen itu sendiri terkadang ada yang tidak sejalan dengan perkembangan global sekarang.
Memang ada beberapa diantara para dewan pengajar yang tidak masuk kualifikasi (menurut mahasiswa itu sendiri), tapi dalam dunia nyata pun terkadang begitu.
Contohnya, memang ada dosen yang membuat soal kompetensi mengenai suatu materi, namun yang ditanyakan bukan inti dari permasalahan itu, namun suatu kelanjutan dari kalimat / paragraf yang telah diberikan.
Dengan cara demikian, dosen tersebut mendidik mahasiswa untuk satu hal, segala pertanyaan sudah ada jawabannya, dan jawaban itu mesti sama dengan apa yang beliau sampaikan.
Tidak ada ruang dalam mengembangkan jawaban! Materi ujian misalnya, yang mesti kita baca dan pelajari adalah benar-benar materi dari dosen bersangkutan yang diberikan. Penilaian pun sesuai dengan apa yang beliau sampaikan. Sebenarnya jawaban lain pun banyak, seperti di internet, berbagai macam bentuk definisi yang berbeda-beda. Tidak ada ruang penilaian untuk menyatakan itu. Penilaian pun, jika tidak sama dengan apa yang tertera di kunci jawaban (materi sebelumnya) dianggap salah, karena jawabannya itu sendiri berbentuk pilihan ganda (multiple choice).
Mahasiswa mempunyai ruang untuk berdemokrasi, membela diri, menuntut hak setelah kewajiban, namun terkadang pihak akademis berlindung pada Peraturan Baku dalam suatu institusi yang menghendaki bentuk tersebut. Cara ini sama sekali tidak mengembangkan mahasiswa. Walaupun banyak kesempatan, mahasiswa sendiri jarang ada yang mau memprotes dengan serius, dengan alasan takut nilainya turun, dan lain-lain.
Takut menjadi kelinci percobaan, Hahaha ... Alasan yang sangat menggellikan.
Bagi saya pribadi, perubahan itu perlu, walaupun memerlukan pengorbanan, rasa ketidakadilan, dan lain-lain. Jika nanti hasilnya lebih baik mengapa tidak?
Sayangnya kemajuan teknologi membuat bangsa ini semakin plagiat, tidak sejalan dengan perkembangan generasi, mental dan psikologi umat indonesia. Apapun itu, genetik mereka harus diubah.
Dalam mimpi saya, saya teringat sebuah bacaan mengenai Soegeng, kepala Polri pertama di Indonesia. Dengan konsekuennya beliau menumpas perjudian yang ada di Medan. Ketika beliau mendapatkan tugas di sana, beliau ditawari berbagai macam pernak pernik perabotan dan berbagai alat mewah yang seharusnya belum ada di zaman tersebut, zaman kemerdekaan atau lainnya.
Namun beliau tetap tinggal di sebuah hotel serta merta menolak segala pemberian dari bandar-bandar tersebut. Setelah rumah dinas beliau sudah jadi, ternyata didalamnya juga telah diisi dengan barang yang sama dari pihak yang sama pula. Dengan tegas beliau mengeluarkan barang tersebut dan meletakkan barang itu ke depan rumahnya, dan dibiarkan begitu saja.
Selain itu, aparat di sana pada waktu itu banyak melakukan korupsi, menerima suap, bahkan menjadi bekingan atau pelindung berbagai tempat judi. Maka secara tegas pula, bapak Soegeng membasmi mereka, dengan rintangan yang bermacam-macam.
Setelah kembali dari tempatnya, beliau memasuki masa pensiun. Beliau sama sekali tidak mengkhawatirkan keadaannya, meski dengan harta yang sangat sedikit. Anak buahnya yang setia beramai-ramai membelikan beliau sebuah mobil, karena bapak Soegeng sama sekali tidak pernah menaiki mobil, kecuali Mobil dinas dan mobil umum saja.
Rencana itu diketahui bapak Soegeng, dan beliau marah besar, namun akhirnya beliau dapat menerima. Walau begitu, bisa dihitung dengan jari berapa kali beliau menggunakan kendaraan tersebut.
Bukan hanya bapak Soegeng saja, di luar sana masih banyak "Soegeng-Soegeng" lainnya sesuai dengan kehidupannya masing-masing, Penuh Integritas, Disiplin dan Profesional
Komentar
Posting Komentar
Bagaimana menurut anda setelah membaca postingan ini?